Friday, July 20, 2007

Belum berubah

Kemarin Jakarta macet banget...sumpah maceeeeeettt!!! Kerasa bener karena seharian itu gue musti keluar kantor untuk berbagai urusan. Pagi gue kejebak arak-arakan demo angkot KWK , siang sampe sore ada pengalihan arus karena unjuk rasa guru, dan malemnya gue gak tau kenapa...masih aja macet sepanjang Gatot Subroto sampe deretan kedutaan di Kuningan. Macet, macet, macet.

Sampe di kost, rasanya lega banget. Capek di jalan...

Hal pertama yang gue lakukan adalah nyetel tivi. Angka 15 muncul di layar tivi Samsung gue, menandakan Metro TV adalah chanel terakhir yang gue tonton malam lalu. Keget setengah mati karena figur publik yang pertama kali gue lihat malam itu di layar tivi adalah...Kak Seto!!! Ya...ternyata itu jawaban atas kemacetan Jakarta hari ini. Come on...Kak Seto = Si Komo, komodo yang berdiri tegak dengan dua kaki (bisa gak ya dinamai komodus erektus?). Si Komo adalah biang keladi kemacetan Jakarta. Mungkin orang Jakarta udah frustrasi mencari akar macet apalagi menemukan solusi...mustahil! Maka lahirlah Si Komo, sebagai kambing hitam kemacetan (padahal dia komodo tho? bukan kambing? atau jangan-jangan dia kambing?) sejak gue masih anak bawang sampe sekarang bau bawang.

Satu masalah besar terpecahkan! Jakarta macet total gara-gara Si Komo lewat....
Ternyata semua masih sama, belum berubah.

Labels:

Tuesday, July 17, 2007

17 Juli 2007,
Gue bikin akun di Friendster....
Rekaman Hidup Fotografer

Kalau disuruh memilih tiga obyek yang mewakili perjalanan hidup, saya pasti kelimpungan setengah mati. Menurut saya, sosok Johan (Lim Kay Tong), aktor utama dalam The Photograph, sangat beruntung karena tidak perlu bingung menentukan obyek. Pelabuhan, rel kereta api, dan pojok studio foto, menjadi saksi perjalanan hidup Johan. Awalnya saya berpikir, sempit sekali dunia pria tua itu. Ternyata saya salah. Pertama, profesi Johan sebagai fotografer tentu memberi dia sejuta pengalaman hidup. Kedua, rekaman Johan yang sangat “sedikit” terhadap hidup memberi arti yang jelas kepada hidup itu sendiri. Pria Tionghoa yang berlayar menuju Jawa itu menjalani hari-hari dengan mantap karena ia tahu benar apa yang ia inginkan.

Pelabuhan menjadi saksi kali pertama Johan menapakkan kaki di daratan Jawa. Rel kereta api adalah akhir hidup orang terkasih: istri dan anak. dua destinasi yang ingin kembali dikunjungi Johan sebelum ajal. Kursi, lampu, dan kamera tua dalam sebuah pojok ruang foto telah menjadi napas Johan selama puluhan tahun. Hidup Johan berakhir di sudut ruang itu, di tangan fotografer pengganti. Semua begitu sederhana, begitu mendalam.

Ya. Itulah kesan saya selama 95 menit menonton film karya Nan Achnas di Blitz Megaplex. Akting aktor Singapura sebagai peran utama sangat pantas mendapat penghargaan. Sementara lawan mainnya, Sita (Shanty), punya peran penting untuk membuka kunci hidup Johan. Film ini penuh balutan emosi. Baik emosi “hidup” yang dimainkan aktor-aktris, maupun emosi “beku” yang tertangkap dalam setiap frame foto. Raut sedih, marah, bingung, kesepian, penantian, dan bahagia, ditampilkan apik lewat deretan foto pada dinding. Film ini membuat saya semakin terpesona dengan sesosok Kolektor Momentum….

Labels:

Monday, July 16, 2007

Perihal KTP Seumur Hidup

Aku baru saja pindah rumah, KTP pun ikut pindah alamat. Tapi bukan itu yang mengganggu, melainkan ucapan ibu:

“KTP ini berlaku sampai 2012. Abis itu Mama bikin KTP seumur hidup, ah, kayak Pakde Heri. Kalo umur udah 60 kan KTP-nya seumur hidup.”

Ibuku belum genap 60 tahun 2012 nanti. Meski belum setua Pakde, tapi ibu memang menua, itu yang pasti. Sementara usia ibu semakin senja, aku tak kunjung melakukan apa-apa untuk membuat dia bahagia. Selalu berpindah-pindah pekerjaan, masih saja menentang setiap keputusan, tidak bisa memberi uang, bahkan belum memutuskan untuk punya keluarga sendiri. Yang konstan aku lakukan adalah membuat ibu khawatir dan kecewa. Setiap terbalut kalut, ibu orang pertama yang aku beri kabar. Tidak demikian ketika aku tertawa sepanjang malam. Hanya tangisku yang ibu dengar, sementara senyum aku sembunyikan. Hanya keluhku yang menyapa ibu, bukan kabar suka. Ketika lilin 60 tahun ditiup kelak, apakah aku akan melihat mata bahagia ibu?

Labels: