Mari Bersulang di Ambang Lajang
Jumat petang, menjelang akhir pekan
Tak sabar bertolak ke kota yang sudah direncanakan
Pergi bersama dua orang kawan
Untuk bertemu dengan lainnya yang berjumlah puluhan
Kesempatan berjumpa sang arjuna, lengkap dengan rombongan punakawan
Membayangkan saja sudah sangat menyenangkan
Pesan singkat dari sahabat sedikit membuat adrenalin tercekat
Dia sudah tiba di tempat yang menjadi titik kami berangkat,
sementara aku masih terjebak di jalan yang padat
Lantas kami bertolak dari barat,
ke tempat yang selama seminggu menjadi pembicaraan hangat
Untuk melihat cincin kawin tersemat
Janji setia terucap, meski dalam irama lamat-lamat
Larut malam kami tiba
Disambut langsung sang mempelai pria
Yang dengan lantang berkata, “Ada kerjaan buat lo berdua.”
Tugas suci dari si pengantin membawa kami ke suatu masa
Dimana pejaman mata menjadi hal istimewa
Yang sangat sulit dirasa, meski kantuk melanda
Terima kasih telah membawa kembali sepenggal peristiwa
Sehingga kami tidak pernah lupa,
meski kini tidak lagi mengerjakan SPA
Malam semakin meninggi
Ketika akhirnya pekerjaan terakhir bisa kami lewati
Kasur empuk kemudian menjadi saksi
Bahwa sang mempelai pria sudah ternodai, tidak lagi suci
Tapi tampaknya ia tak peduli
Berbagi peraduan dengan dua bidadari? Kapan lagiiiii……
Dan ketika aku bangun keesokan pagi
Sudah ada satu sahabat lagi, Andi
Calon pejabat yang rela tidur di kursi
Karena tidak kebagian tempat di sisi kami, malang sekali….
Untungnya langit mendung tidak menggelayut
Dalam keceriaan matahari seakan menyahut
Sumpah yang dibacakan penghulu disambut,
dengan hati yang berikrar untuk selamanya bertaut,
hanya bisa dipisahkan maut
Berjuta perasaan terangkum dalam tiap raut
Dan semua yang hadir pun ikut larut
Dalam suka tanpa serpihan kalut
Dalam cita yang jauh dari carut-marut
Mereka kini resmi suami-istri
Tidak lagi hidup sendiri-sendiri
Memasuki babak resepsi
Bala kurawa serempak datang dan melancarkan sejuta aksi
Dimulai dengan rengekan menumpang mandi
Sampai ribut-ribut karena perut belum diisi bongkahan nasi
Tapi tanpa mereka, pesta pasti terasa sepi
Karena senyum mereka senantiasa menghiasi
Dan polah mereka tak ada habisnya mengisi,
setiap detik seremoni yang jauh dari guratan tradisi
Pesta sederhana digelar dengan kain putih mendominasi
Alunan musik jazz setia menemani
Gemercik air di kolam tempat koi berenang kesana-sini
Sederet sofa empuk terparkir bagi mereka yang merasa letih di kaki
Para pengamat bisu yang membuat perayaan menjadi lebih berarti
Sayang sekali bola sodok di sudut ruang tidak dapat berfungsi
Namun kami sangat puas dengan rangkaian kulinari
Dan kesempatan berfoto ribuan kali,
bersama pasangan pengantin maupun hanya kami sendiri, narsistik sekali
Jelang petang kami pamit pulang
Ke tujuan yang sama darimana kami datang
Membawa berjuta kenangan yang tak mungkin lekang
Bertemu kawan yang tidak sedikit terbilang
Perjumpaan singkat menyapu rindu namun tetap tak hilang
Ucapan selamat sekali lagi kami haturkan lantang
Kepada sejoli yang mabuk tak kepalang
Dalam balutan cinta yang kami harap tak pernah renggang
Mari bersulang di ambang lajang
Jakarta, Januari 17 2007
Jumat petang, menjelang akhir pekan
Tak sabar bertolak ke kota yang sudah direncanakan
Pergi bersama dua orang kawan
Untuk bertemu dengan lainnya yang berjumlah puluhan
Kesempatan berjumpa sang arjuna, lengkap dengan rombongan punakawan
Membayangkan saja sudah sangat menyenangkan
Pesan singkat dari sahabat sedikit membuat adrenalin tercekat
Dia sudah tiba di tempat yang menjadi titik kami berangkat,
sementara aku masih terjebak di jalan yang padat
Lantas kami bertolak dari barat,
ke tempat yang selama seminggu menjadi pembicaraan hangat
Untuk melihat cincin kawin tersemat
Janji setia terucap, meski dalam irama lamat-lamat
Larut malam kami tiba
Disambut langsung sang mempelai pria
Yang dengan lantang berkata, “Ada kerjaan buat lo berdua.”
Tugas suci dari si pengantin membawa kami ke suatu masa
Dimana pejaman mata menjadi hal istimewa
Yang sangat sulit dirasa, meski kantuk melanda
Terima kasih telah membawa kembali sepenggal peristiwa
Sehingga kami tidak pernah lupa,
meski kini tidak lagi mengerjakan SPA
Malam semakin meninggi
Ketika akhirnya pekerjaan terakhir bisa kami lewati
Kasur empuk kemudian menjadi saksi
Bahwa sang mempelai pria sudah ternodai, tidak lagi suci
Tapi tampaknya ia tak peduli
Berbagi peraduan dengan dua bidadari? Kapan lagiiiii……
Dan ketika aku bangun keesokan pagi
Sudah ada satu sahabat lagi, Andi
Calon pejabat yang rela tidur di kursi
Karena tidak kebagian tempat di sisi kami, malang sekali….
Untungnya langit mendung tidak menggelayut
Dalam keceriaan matahari seakan menyahut
Sumpah yang dibacakan penghulu disambut,
dengan hati yang berikrar untuk selamanya bertaut,
hanya bisa dipisahkan maut
Berjuta perasaan terangkum dalam tiap raut
Dan semua yang hadir pun ikut larut
Dalam suka tanpa serpihan kalut
Dalam cita yang jauh dari carut-marut
Mereka kini resmi suami-istri
Tidak lagi hidup sendiri-sendiri
Memasuki babak resepsi
Bala kurawa serempak datang dan melancarkan sejuta aksi
Dimulai dengan rengekan menumpang mandi
Sampai ribut-ribut karena perut belum diisi bongkahan nasi
Tapi tanpa mereka, pesta pasti terasa sepi
Karena senyum mereka senantiasa menghiasi
Dan polah mereka tak ada habisnya mengisi,
setiap detik seremoni yang jauh dari guratan tradisi
Pesta sederhana digelar dengan kain putih mendominasi
Alunan musik jazz setia menemani
Gemercik air di kolam tempat koi berenang kesana-sini
Sederet sofa empuk terparkir bagi mereka yang merasa letih di kaki
Para pengamat bisu yang membuat perayaan menjadi lebih berarti
Sayang sekali bola sodok di sudut ruang tidak dapat berfungsi
Namun kami sangat puas dengan rangkaian kulinari
Dan kesempatan berfoto ribuan kali,
bersama pasangan pengantin maupun hanya kami sendiri, narsistik sekali
Jelang petang kami pamit pulang
Ke tujuan yang sama darimana kami datang
Membawa berjuta kenangan yang tak mungkin lekang
Bertemu kawan yang tidak sedikit terbilang
Perjumpaan singkat menyapu rindu namun tetap tak hilang
Ucapan selamat sekali lagi kami haturkan lantang
Kepada sejoli yang mabuk tak kepalang
Dalam balutan cinta yang kami harap tak pernah renggang
Mari bersulang di ambang lajang
Jakarta, Januari 17 2007
Labels: memories