Tuesday, September 25, 2007

Perkenalkan, saya seekor anjing betina kecil dari ras Golden Retriever. Kata teman-teman, ras saya dikembangbiakkan pertama kali di Skotlandia tapi saya sama sekali tidak tahu dimana itu Skotlandia, saya tidak tahu dimana rumah saya sebenarnya. Menurut manusia, saya adalah ras anjing paling bersahabat bahkan dengan anak-anak sekalipun. Karena saya terlalu ramah, saya bukan anjing penjaga yang baik – mungkin itu bahasa yang dipakai manusia untuk menggantikan kata “tolol”. Saya terlahir sebagai guide dog, bukan guard dog.

Saya tidak punya nama. Manusia memanggil saya sesuka hati saja karena toh saya tidak tahu apa artinya. Tapi saya suka sekali setiap majikan saya memanggil dengan kata: sayang. Apa itu sayang? Saya tak paham, tapi saya suka sorot mata majikan yang dalam dan tulus setiap kali mengucapkan kata itu. O iya, saya belum bercerita soal sang majikan. Alkisah, saya minggat dari majikan terdahulu. Dia tenggelam dalam mimpi dan kerap melupakan saya. Dia tidak menganggap saya penting, tidak pernah punya waktu untuk saya, dan itu semua membuat saya sedih sekali. Badan saya kurus kering, apa lagi yang lebih buruk rupa dibanding seekor anjing ceking? Lalu saya kabur. Lari jauh-jauh. Saya terjang semua dingin dan sepi karena sudah tidak tahan lagi.

Dalam sendiri, saya bertemu sesosok manusia yang kelak saya panggil dia: Tuan. Dia menampung kisah dan kesah saya meskipun kita bicara dengan bahasa berbeda, dia beri saya makanan dan belaian pada tengkuk, dia membuat saya benar-benar nyaman. Tidak perlu waktu lama, saya langsung jatuh cinta kepada Tuan. Cinta mendalam. Dan kami pun selalu bersama, mengisi hari dengan tawa dan senda gurau mesra. Tuan mengajak saya pergi ke tempat-tempat baru, mengenalkan saya kepada sahabat baiknya. Bersama Tuan, saya merasa benar-benar “ada”, bukan anjing yang diseret atau diarak dengan tali leher belaka. Saya punya seribu alasan untuk mencintai Tuan. Tuan yang lucu, baik, cerdas, sabar, penyayang, lembut, ramah, sopan, pintar memasak, harum, dan daftar ini kian bertambah panjang setiap hari. Saya sangat mencintai Tuan.

Hari-hari saya bersama Tuan tidak selamanya indah bagi saya. Penolakan kerap ia lontarkan meskipun saya tidak terlalu keberatan. Ketika Tuan sakit, saya ingin sekali berada di sisi Tuan, menemani. Tapi Tuan melarang dan berkata, “Jangan, saya ingin sendirian.” Dan saya setuju. Ketika Tuan marah, dia meluapkan amarah kepada saya. Tak henti-hentinya Tuan mencambuki saya dengan makian, hinaan, dan kata-kata kasar. Tapi saya yakin itu tidak keluar dari kepalanya. Jika Tuan marah kepada saya, dia tidak pernah menyembunyikan gejolaknya. Dia hantam saya tepat di dada, nyeri sekali. Tuan memang emosional tapi saya tahu dia baik, jauh di lubuk hati dia adalah manusia sempurna. Dan kami kembali berdamai, kembali berbagi kasih sayang. Rupanya begini cara Tuan”, pikir saya, “Mengatasi rasa sakit dengan rasa sakit yang lebih besar.” Dan saya setuju.

Suatu hari, Tuan punya masalah. Dia datang kepada saya dengan wajah lebam dan tidak ada senyum tersungging. Saya hujani Tuan dengan pertanyaan dan dia menceritakan isi hatinya kepada saya. Tapi tetap saya tidak paham. Cerita Tuan seperti mozaik berantakan, sulit saya satukan. Saya tidak tahu persis kegalauan Tuan apalagi untuk ikut merasakan. Bahasa Tuan kali ini benar-benar rumit, sulit bagi anjing tolol seperti saya untuk menangkap gambaran besar atas kesedihan Tuan. Dia bilang, “Saya sudah lebih tenang,” tapi isyarat mata yang selalu tertunduk, garis senyum yang hilang, dan jumlah batang rokok yang diisap, jauh dari kesan tenang. Dan Tuan mengungkap sejumlah kisah yang rupanya selama ini lupa atau enggan ia ceritakan kepada saya. Saya terperanjat namun saya mencoba tenang. Hal terpenting bagi saya adalah membuat Tuan bahagia, tapi saya tidak tahu caranya. Tuan berharap saya bisa membantu. Sebagai guide dog, ia menuntut saya mengeluarkan “Buku Panduan Mengatasi 1001 Masalah”. Saya tidak sanggup, Tuan. Saya hanya anjing tolol. Bahkan saya tidak bisa memahami apa masalah Tuan, lalu bagaimana saya bisa memberi saran? Jangan paksa saya melebihi kemampuan, saya tidak kuat lagi.

Dalam kebingungan, saya teringat metode terapi rasa sakit yang selama ini Tuan terapkan kepada saya. “Saya akan memberikan perih yang lebih parah untuk menekan goresan kecil,” begitu pikir saya. “Ini pasti berhasil.” Tanpa ragu, saya melolong, mencakar, menggigit, menendang, menghantam, mengencingi, dan menginjak-injak Tuan, tepat sasaran. Tuan terpuruk. Ia terjerembab dalam sampai ke nadir. Ternyata saya salah. Tuan kecewa dan marah besar. Saya merasa begitu kecil dan tolol. Ternyata saya salah menilai Tuan. Dan kini Tuan amat membenci saya. Saya sangat menyesal. Maaf ditolak. Saya diusir dari rumah, diusir dari hati Tuan untuk selamanya.

Tuan tidak membekali saya dengan makanan untuk bertahan hidup. Tuan yakin saya betina tangguh yang mustahil kelaparan. Sebagai memorabilia, Tuan memberikan sebuah kalung. “Perlambang kebencian,” begitu katanya. Saya lingkarkan kalung itu di leher dan saya sematkan maknanya hati-hati di dalam hati. Tuan ingin saya selalu ingat akan kesalahan besar yang pernah saya lakukan. Supaya saya selalu bisa mengutuk diri. Supaya saya merasa gagal sebagai anjing pemandu dan terlanjur digariskan tidak mampu menjadi penjaga. Supaya saya selalu mengenang Tuan – yang ogah mengenang saya. Tapi tidak demikian yang saya rasa. Kalung itu justru mengingatkan saya akan cinta saya yang mendalam kepada Tuan. Setiap kali menatap, saya selalu tersenyum dan menggonggong bahagia bak mendapat belulang ayam yang masih segar darah dan sumsumnya. Saya tulus mencintai Tuan, saya tidak mengharapkan balasan. Terdengar klise tapi itu benar yang saya rasakan. Karena Tuan, saya yakin cinta benar ada. Cinta yang saya rasakan membuat saya tetap hidup dan tersenyum menatap hari. Kepingan rasa yang saya kais demi Tuan, kini terbungkus rapi dalam sebuah kantong tahan-gores, anti-bocor, kedap-waktu. Tuan, Anda guru terhebat yang pernah saya ikuti. Majikan terbaik sehingga saya tidak jera mengabdi. Terima kasih, Tuan…. I love you, deeply.

Labels: