Friday, September 22, 2006

Pengalaman baru dan berharga. Hidup di antara mereka yang berbeda, bukan lebih rendah atau lebih tinggi, hanya berbeda. Karena memang itu yang terasa. Bukan untuk mengecilkan atau membesarkan hati mereka, namun hanya untuk hidup bersama...entah apa artinya. Tidak mau terlalu banyak memikirkan, hanya ingin merasakan, meresapi, apa adanya.


Pemulung Bukan Pemurung

“Riwes karo Nartam! ‘Ndi wonge?” teriak Rawin. Teriakan dalam logat khas Banyumas itu diikuti puluhan pemulung lain, bersaut-sautan memanggil Riwes dan Nartam, sambil tertawa. Yang dipanggil datang tergopoh-gopoh, memegang caping di kepala dan menaikkan celana panjang yang berlumur sampah. Riwes dan Nartam berhak atas sejumlah uang setelah nama mereka keluar sebagai pemenang arisan minggu ini.

Begitulah pemandangan Minggu (17/9) siang di tempat pembuangan akhir (TPA) Gunung Tugel, Kabupaten Banyumas. Arisan itu diikuti 125 pemulung Gunung Tugel. Hasilnya lumayan, dengan Rp 2.000 per orang setiap minggu, dua pemenang bisa mengantongi masing-masing Rp 168.000.

“Lumayan buat hiburan. Kalau dapat, bisa buat mbayar utang di warung,” kata Dawen, perempuan berusia 50 tahun, yang mengaku namanya belum pernah keluar sebagai pemenang. “Padahal, saya ikut dua,” ucapnya seraya tersenyum lebar.

Truk sampah pertama datang sekitar pukul 07.15, pemulung yang kebanyakan perempuan langsung menyambut kedatangannya. Setelah itu, hampir setiap 30 menit, truk sampah datang ke TPA Gunung Tugel. Perlahan matahari meninggi, jumlah pemulung yang datang makin banyak. Mereka semua berasal dari Dukuh Gunung Tugel, Desa Kedung Randu.

Pemulung mengenakan “seragam dinasnya” yakni kemeja lengan panjang, celana longgar, dan sepatu usang. Pakaian itu mereka dapat dari tumpukan sampah.

Sambil menunggu kedatangan truk sampah berikutnya, pemulung terlibat percakapan hangat. Topik seputar dana bantuan langsung tunai yang tiba-tiba dicabut, kisah anak-cucu, pengobatan alternatif, hingga bunga tidur, mereka bagi bersama.

“Tadi malam saya mimpi dikejar-kejar orang bertato ular. Kata istri, saya kebanyakan nonton film misteri,” kata Trisno (27), yang disambut tawa riuh pemulung lain sambil melemparinya dengan daun-daun kering.

Dua puluh menit berlalu, kepala truk sampah berwarna kuning kembali terlihat dari kejauhan. Para pemulung berdiri, menyambar besi berbentuk cakar yang dipatok pada kayu panjang, dan keranjang rotan. Dua perangkat yang setia menemani keseharian pemulung mengaduk gundukan sampah.

Delapan meter kubik sampah digelontorkan dari bak terbuka truk tersebut. Cakar besi dihujamkan ke tumpukan sampah dengan cekatan. Bau busuk yang menyengat tercium setiap kali cakar besi mencabik sampah basah, namun tidak ada ekpresi khusus yang tampak dari raut wajah para pemulung.

Mereka memungut benda-benda yang terbuat dari plastik, kertas, kayu, atau apa saja, yang lantas dimasukkan ke dalam keranjang rotan. Tidak sampai 15 menit, keranjang-keranjang rotan milik pemulung sudah penuh terisi berbagai jenis barang rongsokan. Mereka beristirahat di tepi jalan, kembali menunggu kedatangan truk sampah.

Tiba-tiba sekelompok bocah berlarian, menghampiri Sakem (37), salah seorang pemulung, dengan riang. Sakem sedang membelah nangka tua yang sudah separuh busuk. Nangka itu ia dapat dari tumpukan sampah yang diturunkan truk pengangkut sampah pasar.

“Kalau dipikir memang jorok tapi mau gimana lagi, namanya juga kere, sampah saja masih dimakan. Dulu kami sering dapat makanan buangan seperti ini, tapi sekarang pemulung di kota sudah banyak, kami tidak kebagian lagi,” ujar Sakem.

Hari menginjak petang ketika Rawin, operator buldoser, berceloteh, “Wis sore, kono mulih. Adus terus pupuran, gen bojone seneng.”

Imbauan Rawin agar para istri itu segera pulang, mandi, dan memakai bedak untuk menyenangkan suami, dihujani gelak tawa. Para pemulung mulai beringsut meninggalkan TPA, menuju rumah masing-masing yang jaraknya hanya ratusan meter dari tempat itu. Entah karena patuh pada Rawin atau karena truk sampah terakhir sudah pergi sesaat lalu.

Dalam temaram, terlihat bentangan perbukitan, hanya garis tipis yang memisahkannya dari cakrawala. Di kaki bukit, tampak tumpukan sawah bertingkat-tingkat, meski tak semuanya hijau. Saujana apik itu bisa dipotret dari gundukan sampah Gunung Tugel, dari balik kabut asap, akibat pembakaran sampah, yang makin pekat.

Murtiyah (35), yang sudah memulung sampah sejak pagi, sampai di rumah yang tampilannya tidak berbeda dengan tetangga kanan kirinya. Terbuat dari papan kayu, anyaman bambu, dan berlantai tanah. Kedua anaknya, Elsa (9) dan Putri (5), terpaku di depan televisi 14 inci di ruangan berukuran 4x4 meter yang diterangi neon 7 watt.

Mereka menonton tayangan sinetron yang diputar ulang, sambil sesekali menertawakan adegan lucu yang diperagakan bintang sinetron. Suami Murtiyah, Darso (35), belum pulang dari penambangan batu, tempat ia bekerja hari itu. Darso bekerja serabutan. Selain menambang batu, ia terkadang menjadi sopir barang rongsokan atau buruh bangunan.

Seperangkat televisi dan VCD buatan Cina berhasil dibeli Murtiyah dan suaminya setelah mereka mengumpulkan uang selama setahun. Dengan penghasilan Murtiyah sebagai pemulung yang rata-rata Rp 35.000 seminggu dan pendapatan Darso yang tak tentu, pasangan muda itu harus berhemat untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup.

Murtiyah, seperti pemulung lain di Gunung Tugel, menyimpan beberapa karung berisi botol-botol air mineral di halaman belakang rumah. Ia menyebutnya celengan rongsok. “Kalau celengan uang cepat habis, tapi kalau nabung rongsokan awet,” tutur wanita yang tidak menamatkan pendidikan sekolah dasar itu.

Sewaktu-waktu, Murtiyah menukarkan botol-botol bekasnya untuk beberapa ikat sayuran dan lauk secukupnya. Tidak jarang pula ia menjual barang rongsokan untuk menyumbang kerabat yang mengadakan hajatan.

Usai tayangan sinetron, Putri memutar VCD lagu dangdut kegemarannya. Lagu berjudul Bocah Gunung yang biasa ia putar di pagi hari, ketika bangun tidur. Namun senja itu, Putri mendendangkan Bocah Gunung sambil berjoget dan tertawa. Seakan tak peduli liriknya yang melankolis. Pemulung memang bukan pemurung.

Aku bocah gunung/wis ora duwe biyung/wong sing urip susah/gawene maring sawah/sing ora tau bungah...(Aku anak gunung/sudah tidak punya ibu/orang yang hidup susah/bekerja di sawah/tidak pernah gembira…)

Thursday, September 21, 2006

Tentang masa lalu

Udah lama ngga ngomongin arsitektur nih...kangen juga. Biar gimana juga gw cinta banget ama dunia satu ini. Sebuah dunia dimana gw bisa berekspresi bebas, berpikir liar, bereksperimen dengan segenap imajinasi, selalu segar dan aktual!!
Dalam benak saya, arsitektur bukan rumah, gedung bertingkat, deretan cafe, atau interior kamar mandi. Arsitektur juga bukan teori tentang bagaimana merancang kota laik huni atau menciptakan bangunan ramah lingkungan. Menjadi arsitek juga bukan berarti bekerja merancang bangun saja, bukan pula menyusun konsep tata kota yang njlimet. Itu hanya sebagian kecil dari terjemahan arsitek. Lebih sederhana tapi lebih dalam, setidaknya menurut saya.

Menjadi seorang arsitek berarti berkomitmen menjadi sutradara!! Yup. Apapun bentuknya. Arsitek MU adalah Sir Alex, Sixth Sense begitu spektakuler karena diarsiteki Syamalan, dan Nirvana mati seiring kepergian arsiteknya: Kurt Cobain. Jadi, arsitek adalah otak dibalik segala peristiwa, seluruh penciptaan, dan curahan dari segenap (atau seganjil apapun) pemikiran. Berat juga jadi arsitek ya? Emang, siapa bilang gampang...

Ini bukan alasan gw untuk lari dari tudingan bahwa saat ini gw nggak lagi jadi 'arsitek'. Maksud orang-orang, sebagai alumni mahasiswa arsitektur, gw gak memilih perusahaan konsultan perencana atau kontraktor bangunan sebagai lahan mencari makan. Memang tidak. Namun, bukan berarti gw berhenti berarsitektur 'kan? Mungkin suatu saat nama gw bisa tercatat sebagai sutradara muda berbakat, penulis buku best-seller, atau pencipta puisi yang bisa menggugah anak muda melakukan perlawanan terhadap kemapanan. Dengan demikian, saya bisa tetap disebut arsitek 'kan??