Pengalaman baru dan berharga. Hidup di antara mereka yang berbeda, bukan lebih rendah atau lebih tinggi, hanya berbeda. Karena memang itu yang terasa. Bukan untuk mengecilkan atau membesarkan hati mereka, namun hanya untuk hidup bersama...entah apa artinya. Tidak mau terlalu banyak memikirkan, hanya ingin merasakan, meresapi, apa adanya.
Pemulung Bukan Pemurung
“Riwes karo Nartam! ‘Ndi wonge?” teriak Rawin. Teriakan dalam logat khas Banyumas itu diikuti puluhan pemulung lain, bersaut-sautan memanggil Riwes dan Nartam, sambil tertawa. Yang dipanggil datang tergopoh-gopoh, memegang caping di kepala dan menaikkan celana panjang yang berlumur sampah. Riwes dan Nartam berhak atas sejumlah uang setelah nama mereka keluar sebagai pemenang arisan minggu ini.
Begitulah pemandangan Minggu (17/9) siang di tempat pembuangan akhir (TPA) Gunung Tugel, Kabupaten Banyumas. Arisan itu diikuti 125 pemulung Gunung Tugel. Hasilnya lumayan, dengan Rp 2.000 per orang setiap minggu, dua pemenang bisa mengantongi masing-masing Rp 168.000.
“Lumayan buat hiburan. Kalau dapat, bisa buat mbayar utang di warung,” kata Dawen, perempuan berusia 50 tahun, yang mengaku namanya belum pernah keluar sebagai pemenang. “Padahal, saya ikut dua,” ucapnya seraya tersenyum lebar.
Truk sampah pertama datang sekitar pukul 07.15, pemulung yang kebanyakan perempuan langsung menyambut kedatangannya. Setelah itu, hampir setiap 30 menit, truk sampah datang ke TPA Gunung Tugel. Perlahan matahari meninggi, jumlah pemulung yang datang makin banyak. Mereka semua berasal dari Dukuh Gunung Tugel, Desa Kedung Randu.
Pemulung mengenakan “seragam dinasnya” yakni kemeja lengan panjang, celana longgar, dan sepatu usang. Pakaian itu mereka dapat dari tumpukan sampah.
Sambil menunggu kedatangan truk sampah berikutnya, pemulung terlibat percakapan hangat. Topik seputar dana bantuan langsung tunai yang tiba-tiba dicabut, kisah anak-cucu, pengobatan alternatif, hingga bunga tidur, mereka bagi bersama.
“Tadi malam saya mimpi dikejar-kejar orang bertato ular. Kata istri, saya kebanyakan nonton film misteri,” kata Trisno (27), yang disambut tawa riuh pemulung lain sambil melemparinya dengan daun-daun kering.
Dua puluh menit berlalu, kepala truk sampah berwarna kuning kembali terlihat dari kejauhan.
Delapan meter kubik sampah digelontorkan dari bak terbuka truk tersebut. Cakar besi dihujamkan ke tumpukan sampah dengan cekatan. Bau busuk yang menyengat tercium setiap kali cakar besi mencabik sampah basah, namun tidak ada ekpresi khusus yang tampak dari raut wajah para pemulung.
Mereka memungut benda-benda yang terbuat dari plastik, kertas, kayu, atau apa saja, yang lantas dimasukkan ke dalam keranjang rotan. Tidak sampai 15 menit, keranjang-keranjang rotan milik pemulung sudah penuh terisi berbagai jenis barang rongsokan. Mereka beristirahat di tepi jalan, kembali menunggu kedatangan truk sampah.
Tiba-tiba sekelompok bocah berlarian, menghampiri Sakem (37), salah seorang pemulung, dengan riang. Sakem sedang membelah nangka tua yang sudah separuh busuk. Nangka itu ia dapat dari tumpukan sampah yang diturunkan truk pengangkut sampah pasar.
“Kalau dipikir memang jorok tapi mau gimana lagi, namanya juga kere, sampah saja masih dimakan. Dulu kami sering dapat makanan buangan seperti ini, tapi sekarang pemulung di
Hari menginjak petang ketika Rawin, operator buldoser, berceloteh, “
Imbauan Rawin agar para istri itu segera pulang, mandi, dan memakai bedak untuk menyenangkan suami, dihujani gelak tawa.
Dalam temaram, terlihat bentangan perbukitan, hanya garis tipis yang memisahkannya dari cakrawala. Di kaki bukit, tampak tumpukan sawah bertingkat-tingkat, meski tak semuanya hijau. Saujana apik itu bisa dipotret dari gundukan sampah Gunung Tugel, dari balik kabut asap, akibat pembakaran sampah, yang makin pekat.
Murtiyah (35), yang sudah memulung sampah sejak pagi, sampai di rumah yang tampilannya tidak berbeda dengan tetangga kanan kirinya. Terbuat dari papan kayu, anyaman bambu, dan berlantai tanah. Kedua anaknya, Elsa (9) dan Putri (5), terpaku di depan televisi 14 inci di ruangan berukuran 4x4 meter yang diterangi neon 7 watt.
Mereka menonton tayangan sinetron yang diputar ulang, sambil sesekali menertawakan adegan lucu yang diperagakan bintang sinetron. Suami Murtiyah, Darso (35), belum pulang dari penambangan batu, tempat ia bekerja hari itu. Darso bekerja serabutan. Selain menambang batu, ia terkadang menjadi sopir barang rongsokan atau buruh bangunan.
Seperangkat televisi dan VCD buatan Cina berhasil dibeli Murtiyah dan suaminya setelah mereka mengumpulkan uang selama setahun. Dengan penghasilan Murtiyah sebagai pemulung yang rata-rata Rp 35.000 seminggu dan pendapatan Darso yang tak tentu, pasangan muda itu harus berhemat untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup.
Murtiyah, seperti pemulung lain di Gunung Tugel, menyimpan beberapa karung berisi botol-botol air mineral di halaman belakang rumah. Ia menyebutnya celengan rongsok. “Kalau celengan uang cepat habis, tapi kalau nabung rongsokan awet,” tutur wanita yang tidak menamatkan pendidikan sekolah dasar itu.
Sewaktu-waktu, Murtiyah menukarkan botol-botol bekasnya untuk beberapa ikat sayuran dan lauk secukupnya. Tidak jarang pula ia menjual barang rongsokan untuk menyumbang kerabat yang mengadakan hajatan.
Usai tayangan sinetron, Putri memutar VCD lagu dangdut kegemarannya. Lagu berjudul Bocah Gunung yang biasa ia putar di pagi hari, ketika bangun tidur. Namun senja itu, Putri mendendangkan Bocah Gunung sambil berjoget dan tertawa. Seakan tak peduli liriknya yang melankolis. Pemulung memang bukan pemurung.
Aku bocah gunung/wis ora duwe biyung/wong sing urip susah/gawene maring sawah/sing ora tau bungah...(Aku anak gunung/sudah tidak punya ibu/orang yang hidup susah/bekerja di sawah/tidak pernah gembira…)