Wednesday, February 11, 2009

Saya punya radio tape baru. Ukurannya hanya sedikit lebih besar dibanding batako, hanya ada satu deck untuk memutar kaset, perlu tiga baterai ukuran besar untuk mengoperasikannya, dia punya antena yang bisa dipanjang pendekkan, tombol-tombolnya sangat primitif. Saya sangat menyayangi dia. Karena dia begitu sederhana, begitu rapuh, tidak berdaya. Dia perlu uang saya untuk membeli baterai. Dia perlu tangan saya untuk menemukan frekuensi radio yang pas, plus memutar antena. Saya suka tubuhnya yang bersahaja. Saya suka karena dia norak. Begitu tombol saya tekan, ada lampu merah-hijau yang menyala pada speaker.

Dia bukan perangkat cerdas yang otaknya bisa menyimpan ratusan lagu. Dia tidak canggih sehingga dia tidak otomatis mencari gelombang radio favorit saya hanya dengan menekan satu tombol. Dia tidak cukup stylish untuk saya bawa ke kantor apalagi ke diskotek. Dia tidak cukup gaul untuk menasehati saya seputar deretan lagu Top 40. Karena baterainya hanya bertahan beberapa hari saja, dia terlalu lemah untuk menjadi penyelamat hari-hari saya yang suram.

Tapi saya mencintai ketidak sempurnaannya. Berada di dekat dia, membuat saya merasa punya arti. Dia tidak bisa sendiri, dia butuh saya. Sama besarnya dengan kebutuhan saya akan dia. Tanpa dia, hari-hari saya hampa. Tanpa saya, dia bukan apa-apa. Kerap saya bertanya, "Mengapa kamu tidak mewujud manusia?" Dan dia hanya bisa menjawab dengan kerlip lampu merah-hijau dan suara cempreng yang keluar dari speaker mono...