Sunday, February 26, 2006

Petang itu, foodcourt The Plaza Semanggi terlihat berbeda. Memang dalam suasana menjelang buka puasa, tempat sejenis selalu hiruk pikuk menyambut pembeli dengan perut keroncongan. Ditambah lagi, alunan musik khas Ramadhan dari rombongan Nasyid ikut meramaikan suasana berbuka. Tapi bukan itu, ada lagi yang sangat spesial. Ternyata sekumpulan anak muda sedang mengadakan reuni, yang mengambil momentum buka puasa. Lho? Masih muda koq sudah reuni?

Begitulah kami. Alumni Arsitektur UNS Angkatan 99, yang selalu dihinggapi kerinduan satu sama lain. Jadilah kami seringkali mengadakan reuni, meskipun kecil-kecilan, sebagai penawar rindu dan ajang untuk melepas segala penat.

Acara dimulai dengan sendirinya, tanpa aba-aba ataupun MC yang garing. Setiap kehadiran salah satu anggota keluarga 99 disambut dengan histeria, Widiii..!!! Kintuuul…!!! Aruuum…!!! Nukiiii….!!! (yang terakhir adalah rekayasa penulis). Kehadiran Pendekar Yono, seperti biasa membawa kejutan. Tapi karena tidak ingin membuat yang bersangkutan tersenyum licik, banyak diantara kami yang memasang muka tak acuh, cuh.. tidak lama kemudian, lengkaplah pasukan kami.
Dari deretan kaum hawa terdapat nama, Upick, Miz, Novi, Arum, Yusli (yang membawa ehm..ehm..nya), Musa, Desi (membawa gandengan terbaru), Anis, Inda, dan penulis (tanpa pasangan). Sementara jajaran kaum adam mengusung Rafel, Dodi, Kintul, Bram, Aris (bersama istri), Widi, Cipulir (bukan nama sebenarnya), Eka, dan Didik. Juga tampak hadir sesepuh angkatan 95, Mas Daniel dan Mas Toni. Penulis mohon maaf sebesar samudra jika ada nama yang luput dari ingatan, harap maklum.

Setelah itu kami lantas terlibat pembicaraan seru. Namun sayang, layout foodcourt tidak memungkinkan kami untuk duduk dalam sebuah tatanan meja besar, bersama. Yang terjadi adalah kami terbagi ke dalam dua kelompok meja, yang masing-masing beranggotakan sekitar 10 orang. Sembari menunggu musik paling indah selama puasa, bedug maghrib, chit chat-pun berlangsung, seputar kesibukan masing-masing.

Novi, menelpon calon ibu, Ipu, untuk menanyakan alasan dirinya mangkir dari pertemuan. Niat hati ingin marah-marah, ternyata isak tangis yang terdengar dari seberang. Hik..hik…huuuaaaa….. yang berlangsung seperempat jam tanpa henti, dan tanpa satu katapun yang terucap dari bibir si calon ibu. Setelah melewati fase hik hik hua hua yang berlarut-larut, akhirnya ia mengeluarkan sepatah kata. Penulis sekarang sadar kenapa para orangtua begitu mendambakan kata pertama dari bibir buah hati mereka, sebuah kata yang begitu berarti. “Ipu ‘gak bisa dateng…hua…’gak enak badan…hua…salam buat semua ya ‘ki,” ujar dia, masih diselingi isakan. Lega hati ini, ternyata dia hanya menginginkan salamnya disampaikan, bukan nyidam memindahkan tempat reuni dari Plaza Semanggi ke rumahnya di kawasan Kwitang.

Fauzan juga mengemukakan alasan ketidakhadirannya. Sakit. Penulis jadi teringat sebuah petuah bijak dari kawan kita Avant, “Jangan jadikan sakit sebagai alasan, tapi jadikanlah malas sebagai satu-satunya alasan.”

Adzan Maghrib sontak mengagetkan kami semua, meskipun ada yang pura-pura kaget karena memang tidak puasa. Nuansa kaum barbarian kembali mewarnai, “Sikat….”, begitu teriakan heroiknya. Maka apa yang ada di depan mata langsung menjadi korban dendam yang membara, garpu menghunus, sendok mencungkil, pisau menyayat, mulut melibas. Begitu ganasnya mereka hingga penulis mempertanyakan keberadaan asbak yang semula terlihat jelas di pojok meja, ada yang kesulitan buang air besar gara-gara menelan asbak, wahai teman?

Sejenak kemudian, pemandangan berubah mengharukan. Para adam bergegas menunaikan sholat maghrib, sungguh menggembirakan karena sesungguhnya kaum Barbarian masih berTuhan.

Acara chit chat sembari tetap menggiling kembali berlanjut. Kali ini kami mendapat kejutan, Musa hendak menikah! Calonnya adalah seorang pemuda lajang asal Karanganyar, namun tampaknya sudah lupa dengan kulitnya dan memilih Betawi sebagai status kewarganegaraannya. Namanya, sungguh sangat akrab di telinga rekan-rekan 99, Hilman. Eits, demi meluruskan rumor, Hilman yang satu ini bukan karyawan sebuah raksasa media nasional, melainkan pegawai sebuah perusahaan jasa konstruksi, Jaya. Dia juga bukan seorang pekerja seni, melainkan seorang civil engineer. Dan yang jelas, Musa tidak mengambil suami seorang kawan kita, yang dikenal karena sifat galaknya selaku ibu tiri. Jadi, sabar…
Musa menaku sudah siap dan mantap dengan pasangannya, dan akan melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat. Penulis langsung teringat hiruk pikuk menyiapkan keberangkatan ke Cirebon, beberapa bulan silam. Semoga banyak pelajaran yang bisa dipetik dari pengalaman itu, Amien.

Selanjutnya, acara diisi dengan berfoto ria. Kebetulan ada seorang fotografer professional, yang dengan ikhlas membiarkan kamera digital SLR-nya mual mengabadikan tingkah polah kami yang amat memalukan. Tidak sabar ingin melihat hasilnya, karena sang fotografer sangat candid-mania, pasti jadinya lebih memalukan…

Sembari berfoto, penulis sempat menodong beberapa dedengkot 99 untuk ditanya masalah kesan mereka terhadap acara buka puasa kali ini. Berikut komentar mereka.

“Heheheh..rame rame banget, top lah. Pokonya buka puasanya intresting banget deh. Dari yang dateng mantep-mantep. Cara hubungin temen-temen pake SMS, dengan beli kartu perdana. Untung-untungan aja.
Ngerencanain ini udah lama, Didik yang ngerencanain, dari awal puasa.” Tentang pemilihan hari? “Nyocokin hari aja, libur hari minggu. Soal tempat, yang deket ama gue, kan gue harus balik kantor ini malem..hehe..” (Dodi, 25 tahun, pekerja konstruksi).

“O ‘gak, yang menggagas itu dodi, saya hanya memberikan saran. Gimana kalau udah banyak yang di Jakarta trus bikin buka puasa bersama.” Bantah Didik atas tudingan Dodi.
Trus kamu udah lama di Jakarta? “Kemaren lagi di Malang, di SMS Dodi ada buka bersama, langsung ciao.. dari malang kemaren, nyampe tadi pagi, istirahat sebentar trus langsung kesini.” Wow.. anda layak dapat keris!
Siapa yang menghubungi teman-teman? “Yang ngumpulin orang Dodi karena dia sosialisasinya bagus banget.” Tuh Dod, dipuji ente..
Sebelumnya yakin ‘gak yang datang bakalan sebanyak ini? “Kalo diprediksi sih yakin karena anak-anak disini juga pada pingin ketemu, lagian hari Minggu.” Asiknya dimana sih? “Asiknya ya kumpul-kumpul sama ngobrol di luar kaya gini.” Maksudnya di luar foodcourt. (Didik a.k.a Pendekar Yono, entah berapa abad usianya, pekerja..keras)

“Seneng, komplit, rame.”
Soal pemilihan hari? “Harinya sebenernya salah, harusnya malem minggu jadi bisa nginep bareng. Siapa sih yang salah?.” Wah ya nggak tau ya mbak..
Besok ultah? “Hehe iya. Bentar ya nunggu THR. Traktiran di Citos, sebelum natal.” Oke, kita pegang teguh janji Anda. (Upick, hari ini 25 tahun, penata interior).

Malam semakin larut. Satu demi satu menunjukkan kegelisahan. Kintul, sudah lebih dulu pamit karena harus menjadi obyek pameran di JHCC (memang ini informasi yang penulis dapatkan). Desi dan pendampingnya, juga beranjak pergi. Dodi, harus kembali mengenakan helm proyek karena masih punya hutang satu paku beton belum tertancap. Rafael dan Novi yang punya aktivitas misterius berdua, juga pamit. Upick yang khawatir pulang kelewat malam, semakin memperlihatkan ketakutannya, maklum penculikan sedang marak di Jakarta. Miz, yang memanfaatkan kesempatan emas untuk nebeng pulang, segera menyusul Inda ke basement.

Sebelum pergi, kami sempat mencicipi macaroni scotel yang dibawa Inda, hasil nilep dari usaha catering ibunya, terima kasih.

Akhirnya, The Plaza Semanggi kembali seperti sedia kala. Sesekali mata mengerling ke arah bangunan publik tersebut, kerlip lampunya seakan tidak rela kami pergi. Namun, ia harus pasrah atas kepergian kami, ia harus rela menjadi saksi bisu. Atas segala teriakan, tangis, haru, sedu, dan tawa membahana.