Saturday, September 09, 2006

Tulisan seorang teman tentang pertemuan kala senja.
Sangat menginspirasi.


NARASI
Sabtu, 19 Agustus, jam dua siang waktu Solo. Lagi asyik ngobrol
dengan Robi di kosnya yg teduh di siang tapi gerah di malam hari (he-
he), tiba2 nongol dua sahabat kita, Purwo dan Didik. Kedatangan
mereka lantas mengingatkan pada acara kumpul2 di malam harinya.
Langsung saja pikiran ruwet yg masih bercabang ke rencana persiapan
liputan di Solo dan sekitarnya minggu depan, sontak buyar dan menjadi
lurus kembali. Agenda kerja musti dicampakkan. Bodo! Ini kan
liburan... Tapi busyet, ternyata aku kelupaan belum ngabarin
kepastian ngumpul2nya ke teman2. Sudah jadi kewajiban moral karena
bulan kemarin aku koar2 pengen ngajakin kumpul bareng. Lewat rapat
kilat disepakati: tempat di hik prau STSI, jam 8 malam. Langsung saja
jari-jemariku beraksi. Pencet sana pencet sini sampai akhirnya harus
terhenti saat argo pulsa di hp-ku tinggal menunjuk angka 70 rupiah.
Gak papa, demi 99...

Menjelang senja, masih di kos Robi, datang tamu kejutan yg
menyenangkan. Widi muncul ditemani Kunto, anak 2003 yg juga
tetangganya. Sejurus kemudian menyusul Rudy "Kentang". Setelah
terlibat perbincangan hangat, selepas maghrib Rudy pamit tapi
berjanji akan datang lagi ke venue tepat waktu. Di saat bersamaan,
aku juga meluncur keluar ke Kartosuro untuk menjemput Upi. Dari rumah
mbak Retno rencananya bakal mampir dulu ke rumah Maul, membawa serta
tuan rumah & karibnya-Fuad ke 'medan perang'. Sayang, tinggal
beberapa jengkal dari rumahnya, mas Tommy ini mengirim SMS
mendadak,"Aku ra sido melu pak, mergane bla-bla-bla" . Efek
lanjutannya Fuad juga membatalkan keikutsertaannya dg alasan
tersendiri. Duh... pasangan ini memang kompak banget.

Tiba di lokasi, jam menunjuk waktu 19.50. Masih kurang 10 menit lagi.
Masa jeda ini lalu diisi obrolan sembari makan dg Upi yg segar tapi
berasa singkat. Delapan malam tepat, jam karet anak2 masih belum
berubah. Belum ada satupun yg nongol. Nggak sabar, kuangkat telpon
dan minta Robi cs segera datang.
Dalam hitungan menit, empat sosok muncul tergopoh-gopoh (saya suka
sekali dg pilihan kata ini, hahaha): Robi-Didik-Widi- Kunto. Bukan
cuma mereka, tampang2 familiar anak 2000 secara kebetulan juga
menampakkan diri, Kenthus, Alfian & Sofy_him. Lalu Purwo dan Devi.
Formasi ini menghasilkan cerita dan guyonan-guyonan seru. Kesemarakan
bertambah dg kehadiran satu profil yg sebelumnya tak diperkirakan
datang, si "mantan juru selamat" (he-he) Erwan. Maaf, bukannya tidak
mengharapkan lho, tapi surprise aja dia menyempatkan diri ada.
Meskipun kemudian dia lebih banyak speechless, toh semangat
kebersamaannya sangat patut dihargai. Ditambah dengan kemunculan Musa
yg mengaku baru saja tiba dari rumah Eyang-nya di Wonogiri. Wah salut!

Imam memberi kejutan kecil ketika mengisi kekosongan yg sempat
tinggal akibat kepulangan teman-teman 2000. Eka juga menyumbangkan
keceriaan lain dg tawa dan gaya bertuturnya yg khas. Duka akibat
gempa seolah tak berbekas, paling tidak untuk saat itu (Kami akan
selalu di belakangmu Ka-juga Dewi!). Jual beli cerita pun jadi
semakin hidup. Gosip2 terbaru seputar 99, penertawaan masa lalu,
bedah rencana masing-masing termasuk soal merit, perdebatan tentang
kucing (mudah ditebak siapa yg ngomongin ini) sampai ke evergreen
theme: siapa2 yg masih setia bertahan di kampus. Segala rupa
celotehan tumplek-blek jadi satu...dan lagi2 terselip sedikit topik
yg nyerempet 'our man of generation' Ifan "Uhuk" a.k.a. The L-men
Man. Hehehehe. Nasibmu Fan, fan... Malam yg meninggi tidak lantas
menurunkan tensi kejut kami. Berturut-turut tiga teman kita yg selama
ini lebih banyak bergerak di bawah tanah, Anwar Bos'e, Romi dan
terakhir Kanda Joko (sayang kali ini tanpa ditemani pasangan
legendarisnya, Dinda Joyo) menunjukkan tampilan terbarunya. Sungguh
satu perjumpaan yg tak terduga! Coba kalian jadi ke Solo Mis,
Ndhol... wuih.

Overall, meski sempat dinodai oleh ingkarnya janji Rudy (he-he,
jangan salahkan aku menulis begini tapi karena salahmu jualah) dan
tidak hadirnya beberapa figur yg sebenarnya dinantikan karena sedang
berada di Solo seperti misalnya Gusur, Dyah, Andi3 yg lg ada acara
keluarga (atau gak mau ketinggalan nonton Liverpool sih pak??), Affan-
where were u dude?, Sony sang Jenderal, Bram yg katanya baru aja
sakit (klo yg ini kami bisa maklum) dan CL yg hanya bisa nitip absen
karena lg mudik Semarang ...sayang Yuyuk dan Ningrum tidak sempat
dikasih tau (kami benar2 minta maaf untuk kelalaian ini)...
pertemuan kemarin sangat memberi morfin kegembiraan- meski sesaat,
menyuntikkan serum kegairahan di sela-sela libur (bg yg udah kerja)
yg langka. Nongkrong bersama, saling lempar pace2an trus ketawa
bareng. Truly released our fatigue from all those pressure that sucks!
Tiga jam yg harus dibubarkan oleh kantuk masing-masing pun ternyata
masih menyisakan satu rasa tidakpuas yg manusiawi: kurang lama dan
kurang banyak (yg hadir). Sebuah pertemuan yg singkat untuk satu
penantian yg panjang. Yg kita tidak tahu pasti kapan akan terulang
kembali. Meski jelas kita semua percaya bahwa kita akan bersua lagi
di lain kesempatan.
Mari berharap kesempatan itu akan menghampiri kita lagi. Sesering
mungkin.

Long live architect 99! We're still a big family!

minggu pagi
-warm regards
jati

Friday, September 08, 2006

Journey to Demak

Dari Belimbing Sampai Religi

“Nak, kata orang kalo udah ke Masjid Agung Demak sama aja udah pergi haji ke Mekkah.”

Begitu bunyi pesan singkat ibunda sesaat setelah saya mengabarkan soal penugasan ke Demak, lucu juga. Semula saya terfokus pada pengumpulan bahan tentang belimbing, seperti tertulis dalam TOR penugasan, dan hanya sedikit mencari tahu soal masjid agung berikut penyebaran Islam oleh Sunan Kalijaga. Namun, SMS dari ibunda membuat saya sangat penasaran. Demak memang identik dengan ke-islam-an dan saya tidak ingin membuang kesempatan pergi ke Demak tanpa membuat sebuah tulisan tentang aspek religi yang demikian kental di Kota Wali itu.

Hengkang dari Yogya Minggu (20/8) pagi. Sekitar pukul 10.00 WIB saya bersama teman seperjalanan, Maruli, naik bus tujuan Semarang. Dari Semarang kami melanjutkan perjalanan ke Demak. Ternyata Demak-Semarang hanya butuh waktu 30 menit.

Pukul 15.30 WIB. Kami sampai di Demak, tujuan pertama: Masjid Agung! Tapi ternyata dorongan cacing dalam perut lebih kuat daripada keinginan kami untuk memasuki masjid kali pertama. Akhirnya, kami putuskan untuk menjejakkan kaki di warung makan kecil tepat di samping masjid agung. Di warung itulah kami berkenalan dengan Iwan, tokoh yang akan sering sekali muncul dalam cerita ini.

Dari Iwan kami tahu bahwa sentra belimbing demak terletak di Desa Betokan, tidak jauh dari pusat kota. Kami memutuskan untuk langsung mengunjungi desa itu, meski matahari sudah bersinar malu-malu di sebelah barat. Tancap!!

Sepulangnya kami dari Desa Betokan, azan maghrib berkumandang dari pengeras suara masjid agung. Usai shalat, kami bertemu dengan seorang ustadz yang memberi banyak pengetahuan seputar Masjid Agung Demak dan akulturasi Islam-Hindu di Demak. Sempat juga kami berbincang dengan peziarah yang malam itu memadati setiap sudut masjid. Tidak terasa malam sudah amat larut dan kami belum punya tempat untuk berbaring dan memejamkan mata.

Iwan merekomendasikan sebuah losmen bernama “Sederhana” yang benar-benar sederhana, Rp 30.000 untuk sewa satu kamar semalam. Karena sudah amat lelah dan ingin lekas tidur, tanpa pikir panjang kami mengiyakan.

Keesokan harinya, kami habiskan dengan mengunjungi petani belimbing di Betokan dan Ploso-Karangtengah. Perjalanan ke Ploso penuh petualangan. Pembangunan jembatan menuju desa itu membuat kami harus ekstra hati-hati karena setiap saat truk pengangkut material bisa menabrak kami. Jembatan goyang adalah rintangan selanjutnya. Ngeri juga, berjalan di jembatan yang sangat tidak stabil dan jurang menganga di bawah kaki.

Untuk keluar dari Karangtengah pun tidak mudah. Tidak ada becak, angkutan umum jarang, kesimpulannya kami harus menumpang truk. Naik truk, disambung angkutan umum, terakhir kali becak. Hari yang melelahkan namun begitu membangkitkan gairah. Malam harinya, kami memutuskan untuk mencari penginapan baru, yang lebih dekat dengan masjid. Iwan langsung menunjuk sebuah rumah yang biasa dijadikan tempat singgah sejenak para peziarah, tarif sewa semalam Rp 20.000 per kamar. Setuju!

Selasa (22/8), saatnya menemui para birokrat. Menaiki sepeda milik Iwan, kami menjelajah Kota Demak. Setelah urusan dengan Dinas Pertanian dan Dinas Pariwisata selesai, kami kembali bersepeda ke Desa Betokan. Bertemu Karmono, petani yang berdedikasi tinggi.

Rabu (23/8), ke makam Sunan Kalijaga di Kadilangu. Itu saja belum cukup. Kami bertemu dengan keturunan Sunan Kalijaga, Soedioko. Seorang kakek sembilan cucu berusia 80 tahun dengan pemikiran yang sangat modern, terbuka, dan peka terhadap perubahan. “Pak Soedioko, I Love You,” ucap saya sebelum beranjak dari kediaman beliau sambil melambaikan tangan.

Malam terakhir di Demak. Saya dan Ruli berencana menghabiskan malam itu untuk berdiskusi dan membuat kerangka tulisan. Sebelum mulai menulis, kami mampir membeli martabak di depan Pasar Bintoro. Mata mengerling ke sebuah gapura bertuliskan, “Demak Kota Wali.” Di bawah tulisan itu terdapat papan reklame rokok berukuran raksasa dengan model seorang wanita memakai tank top dan celana mini.

Wednesday, September 06, 2006




Mendadak Dangdut, belum dangdut mendadak
(Spoiler Warning!!!)

Bareng Rosie, Intan, Titi, Ruli, dan Yoga, gw nontong film besutan (cie..) Rudi Soejarwo ini di Ambarukmo Plaza. Jam 17.15 film-nya main. Ditemani sweet corn with cheese crepes dan sebotol air mineral, film siap dinikmati.

The opening. Boring banget. Petris (Titi Kamal), rockstar yang lagi digandrungi generasi MTV, menyanyikan satu lagu live di Cilandak FM. Adegan itu berlangsung terlalu lama yang hasilnya bikin bosen penonton. Corak lagu pop-melo yang dibawakan Petris semakin menambah kebosanan. Eksploitasi karakter Petris langsung terbaca sejak opening film ini. Not-so-good opening scene lah yaa...

The movie. Secara ide, film ini keren. Entry yang disajikan cukup segar, musik dangdut yang dibawakan seorang rockstar. Meski begitu, tema perubahan dalam diri dengan melihat realitas sosial sepertinya masih menjadi santapan empuk sutradara film. Orang kota yang identik dengan manja dan borju (meski mengaku anti kemapanan), mendadak harus mengubah gaya hidupnya 180 derajat.

Cerita bermula ketika Petris pulang dari Cilandak FM, bersama sang kakak sekaligus manajernya Yulia (Kinaryosih) pacarnya dan Gary (Vincent "Club 80s"), Petris terjebak razia polisi. Tak dinyana, Gary membawa 5 kg heroin dalam mobil Petris. Bla..bla..bla..and so...and so... Petris dan Yulia lari dari kejaran polisi untuk menyelamatkan diri dari dakwaan hukuman mati.
Pelarian mereka berakhir di sebuah kampung di bilangan Depok. Tanpa uang, Yulia dipaksa memeras otak.
Adegan beralih ke pertengkaran Vetty Manis Madu dengan pimpinan orkes melayu, Rizal (Dwi Sasono), yang berakhir dengan hengkangnya Vetty dari Senandung Citayam (nama orkes melayu itu). Jadilah Petris sebagai vokalis pengganti Vetty dengan bayaran Rp 30 ribu. Petris kemudian menghabiskan hari-hari dengan menyanyi dangdut dari kampung ke kampung dan tinggal di kontrakan Rizal bersama Yulia.

Petris yang mengganti aliran musiknya itu tampaknya tidak mendapat nyawa dangdut, bahkan hingga film berakhir. Cengkok dan goyangan khas dangdut yang seharusnya bisa menjadi kekuatan film berdurasi 90 menit itu, tidak dihadirkan. Penonton kecewa. Kostum yang sepertinya hanya pas dikenakan Titi Kamal seorang, mengingat liuk tubuhnya yang amat sexy, tidak dimanfaatkan optimal. Hot pants yang seharusnya dipakai untuk memamerkan pantat, belahan dada rendah yang hanya indah jika ada payudara menyembul, dan baju tanpa lengan yang cocok untuk memajang ketiak, tidak dipertontonkan maksimal. Pun perubahan nama Petris menjadi Iis Maduma, tidak terlalu berarti di film tersebut.

Roh dangdut justru terasa di beberapa adegan yang norak dengan sendirinya, entah memang disangaja atau muncul begitu saja di benak penonton. Misalnya ketika Petris menyanyi untuk menggalang dana bagi ibunya Mamat (Sakurta H. Ginting), tetangga Rizal, yang dipukuli majikannya di Saudi Arabia ketika selama menjadi TKW. Di adegan itu Petris merenung bahwa musik dangdut lebih dari sekadar musik, tapi menghibur masyarakat kelas bawah yang sehari-hari lekat dengan kesengsaraan. Angin yang meniup rambut Petris, mata yang berkaca-kaca, dan lengan yang meninju ke udara, tampak begitu....dangdut...

Satu lagi yang benar-benar dangdut, lagu!! Deretan lagu-lagu tema film tersebut seperti Jablai (jarang dibelai), Mars Pembantu, atau TTM (tau-tau masuk, yang sayangnya tidak dinyanyikan padahal sangat membuat penonton penasaran), sangat mewarnai film. Simak penggalan lirik Jablai :

Abis tamasya ke Binaria/pulang-pulang ku berbadan dua/walau tanpa restu orangtua sayang/aku rela abang bawa pulang/..../panggil aku si jablai/abang jarang pulang aku jarang dibelai

Sederhana, jujur, spontan, nyata.

Beberapa alur klise juga masih ditampilkan di film itu..hare geneeee.... Seperti ketika Petris sempat frustasi dengan musik dangdut yang melenceng jauh dari jatidirinya. Dengan sabar Yulia (karakter khas seorang kakak dalam film) mulai menyemangati Petris lewat kenangan masa kecil. "Ingat 'gak waktu ulang tahun lo yang ke 10 dulu...," bla..bla.. sangat klise. Romantisme keluarga, lagi-lagi diangkat menjadi latar film.

Kisah cinta Rizal dan Yulia yang tidak terlalu diangkat justru menjadikannya tidak klise. Karena akhirnya, cinta mereka tidak berlanjut terlalu jauh (hehe..sudah cukup dangdut belum kalimatnya?)

Seorang kawan saya bilang film ini berbujet sangat rendah. Dan itu terlihat sekali. Mendadak Dangdut jarang mengambil setting malam hari karena sangat mungkin syuting malam butuh dana ekstra. Padahal pertunjukan dangdut biasanya diadakan di malam hari, tho? Hanya pada waktu klimaks -yang digambarkan sebagai pertunjukan pamungkas Petris sebelum dicekal aparat keamanan- malam dipakai sebagai latar.

Di akhir cerita, Petris dan Yulia bebas dari tuduhan karena Gary berhasil ditemukan di Batam. Namun, mereka tetap menjalani hukuman karena melarikan diri dari kejaran petugas. Dan Petris pun memilih dangdut sebagai jalan hidupnya. Film ini ditutup dengan teriakan Petris di hadapan napi Rutan Pondok Bambu, “Apa kabar dangdut mania……!!!!”

Intinya, film ini layak tonton. Cukup menggemaskan. Perpaduan cerita segar yang dibumbui penggalan kisah klise dan realita masyarakat pinggiran kota. Just don't take it seriously...

The cast. Dua jempol untuk Kinaryosih. Aktingnya begitu memikat, sangat natural. Jauh di atas Titi Kamal yang sudah berpengalaman bermain di film-film yang pernah melejit. Mendadak Dangdut menjadi mendadak hidup karena Kinar begitu bersinar.

Dwi Sasono juga menjadikan film ini terasa dangdutnya. Seperti dialognya ketika memuji rambut Petris yang tergerai indah, "Set dah..rambut lu wangi bener yak? Pake minyak kelapa apa lu?" Ditambah style yang begitu 'merakyat' komplit sudah predikat Dwi sebagai Bang Rizal, pimpinan orkes Senandung Citayam. Apalagi obsesinya untuk membesarkan alat kelamin, hehe..sangat menggelitik!!

Beberapa cast yang nyempil namun memberi kontribusi berarti seperti Mamat dan ibunya juga diperankan dengan baik. Sakurta yang begitu pas memerankankan anak kampung lancang dan berpikiran kotor (dengan selalu mengomentari dan memandang payudara Petris) menjadi gambaran bagus tentang anak yang dijauhkan dari pendidikan informal di dalam rumah. Sebuah realita bahwa orang tua yang kurang memerhatikan anak tidak hanya terjadi di kompleks orang gedongan, tapi juga masyarakat kelas bawah.

Sayangnya, Petris yang menjadi tokoh sentra dalam film ini justru menampilkan akting pas-pasan. Sehingga, berkat akting Titi yang jeblok, Mendadak Dangdut belum dangdut mendadak.