CityWalk!
Bentuk Kerinduan atau Tren Sesaat?
On foot, jalan kaki, jalan santai di senja hari, menikmati pudarnya sengatan matahari yang seringkali membuat keringat mengucur dan ketombe menjamur, sembari memandang geliat lampu-lampu kota yang cantik, genit, dan penuh misteri, nampaknya mustahil di kota selengkap Jakarta!
Maka siapa bilang Jakarta lengkap? Buktinya kota itu tidak bisa mengakomodasi keinginan warganya untuk sekedar bermanja-manja dengan kaki, sepatu, dan bahu jalan. Keinginan untuk membuat telapak kaki lecet, sepatu yang memang sudah butut berujung sobek disana-sini, dan memahami keinginan bahu jalan untuk dipijit oleh pejalan yang lalu lalang kebingungan, nampaknya tinggal angan-angan.
Betawi, yang kabarnya nakal dan eksotis, sudah tidak lagi meninggalkan kepingan jejak yang siapa tahu bisa disusun kembali. Memoripun sirna. Jakarta dipenuhi para pendatang yang tentunya tidak bisa menceritakan soal Jakarta tempo dulu (atau Betawi). Termasuk saya, yang tidak pernah mengenal tradisi membuat dodol atau laksa, kesenian tanjidor atau ondel-ondel. Tidak tahu darimana asal kerak telor yang begitu lezat dan hanya bisa bertanya-tanya kemana larinya para jawara kampung. Orang Betawi asli semakin tergusur, tersisih oleh derasnya arus pendatang yang – banyak orang menyimpulkan – lebih tekun dan ulet.
Bukannya tidak mau saya belajar, tapi rasanya sulit. Untuk menghayati dan menemukan nyawa Betawi-pun sulit sekali. Gedung pencakar langit, kali yang kotor dan bau, perkampungan kumuh, deretan mal dan café, pemandangan yang setiap hari terlihat di Jakarta, itu bukan Betawi!
Berjalan di trotoar yang sempit dan rawan tertabrak tukang ojek. Rasanya sulit untuk meresapi semangat Betawi lewat kondisi seperti itu. Sulit untuk merenung sekedar menerawang bahwa dulu si doel dan zaenab bertemu di jalan ini lalu bertukar alamat rumah. Seperti yang saya katakan sebelumnya, memori telah terkikis.
Hey, this is Jakarta, not Betawi anymore!
Memang. Tapi salahkah jika ada kerinduan atau sekedar ingin tahu? Seperti apa jalan-jalan di Jakarta jauh sebelum kami dilahirkan. Ingin berjalan, tidak hanya kesal karena tidak dibelikan sepatu baru sebelum yang lama rusak, tapi juga karena ingin sedikit sentimentil. Ingin menikmati Jakarta dari sudut pandang mata manusia, bukan dari dashboard mobil atau ketika bergelantungan di bis kota yang senantiasa penuh sesak. Karena dengan berjalan, merenung, bergandengan tangan atau menikmati kesendirian, ada perasaan tak terungkap yang bisa sontak muncul dan meninggalkan guratan emosi yang tidak mudah lekang. Jauh lebih dalam daripada duduk sambil menyetir atau memandang samar-samar gemerlap lampu dari balik bahu orang asing di dalam himpitan metromini.
Sederhana, tapi tidak mudah. Hanya bisa dirasakan, tanpa terdefinisi dengan jelas. Membangkitkan luapan emosi, tanpa ada penyelesaian nyata.
Tapi jangan-jangan saya salah intepretasi? Jangan-jangan saya salah membaca gelagat? Atau kurang peka dan cenderung menyuarakan kepentingan diri? Mungkin saya memang egois, masturbasi, atau dipenuhi angan semu. Tidak semua warga kota senang jalan kaki, merasa nyaman dan puas dengan kaki lecet mengapal, gembira melihat bahu jalan yang luas, rindang dan tertata, dan bahkan tidak semua punya sepatu butut yang bisa dipakai seenaknya….
Lalu siapa yang saya suarakan? Hanya diri sendirikah? Atau segelintir orang? Atau sekumpulan LSM pecinta jalan kaki (kalau memang ada)? Atau memang kebanyakan warga Jakarta?
Jika memang saya egois, maka maafkan. Tapi mengapa akhir-akhir ini muncul tren membangun CityWalk? Apa sih CityWalk itu? Dalam pengertian saya, adalah sebuah koridor jalan dimana siapa saja berhak menjadi konsumennya, dan koridor tersebut menawarkan komoditas unik yang layak dipadati warga kota, tidak melulu dijual, yang jelas atraktif. Tapi benarkah demikian? Sejauh ini yang mengklaim dirinya adalah CityWalk yaitu koridor mal/pusat perbelanjaan dengan konsumen yang segmented dan komoditas yang ditawarkan tidak lebih dari mal/pusat perbelanjaan lain. Atau lebih disederhanakan, mal yang dibuat memanjang menyerupai koridor jalan. Apa memang itu CityWalk? Mungkin bukan. Tapi nyatanya CityWalk seperti itulah yang dikonsumsi dengan lahap oleh anak gaul Jakarta. Jadi tidak bisa juga menyalahkan penggagas ide Citywalk berikut pengembang yang mengembangkan jenis usaha seperti itu hingga akhirnya menjamur, tidak hanya di Jakarta tapi juga di bandung, dan tak pelak kota metropolitan lain akan mengekor.
Kemudian muncul plesetan CityWalk, CafeWalk yang - maaf saja - agak lucu. Bagaimana bisa minum di café sambil berjalan? Secara definitif hal itu sudah salah kan? Dan mungkin saja tidak lama lagi akan muncul DiscoWalk, BillyardWalk, BowlingWalk hingga SalonWalk. Embel-embel Walk di belakang tempat rekreasi nampaknya merupakan magnet yang punya kekuatan magis untuk menarik dan menyihir pengunjung. Wow….dasyat!!!
Kenapa jalan bisa sedemikian magnetis? Bahkan jalan buatanpun laku dijual dan ramai dibicarakan. Sebut saja Darmawangsa CityWalk atau CiWalk Bandung, dan sederet mal dengan konsep jalan sintetis seperti Cilandak TownSquare, CafeWalk The Plaza Semanggi, dan Lippo Karawaci. Hingga saat ini mal-mal tersebut menjadi tempat tongkrongan favorit remaja hingga eksekutif di Jakarta, dan masih menjadi spot yang digunjingkan warga kota.
Bukankah itu indikasi bahwa masyarakat urban rindu akan sosok jalan yang nyaman, aman, cantik, bersih, dan terawat? Rindu akan romantisme berjalan di sepanjang koridor yang konon membangkitkan memori terdalam? Sehingga apapun tampilannya, konsep berlenggang kaki di jalan akan disantap oleh warga kota yang memang menyukai segala sesuatu yang berbau praktis, instan.
Tapi ada kemungkinan kedua. Bisa saja warga Jakarta sekedar ingin mencicipi konsep baru. CityWalk memang relatif baru di Indonesia jika dibandingkan dengan konsep mal yang telah ada. Sifat kaum urban yang fashionista, suka mencoba hal-hal baru, dan gemar menciptakan serta mengikuti trend, bisa saja menjadi latar belakang mereka berduyun-duyun mendatangi CityWalk. Kemungkinan seperti itu juga wajib dipertimbangkan.
Berangkat dari sederet pertanyaan yang berkecamuk dalam batin dan otak itulah, kemudian saya memberanikan diri mengadakan penelitian kecil-kecilan. Jika tidak boleh memasukkan opini pribadi, okelah…tidak menghalangi niat saya untuk menanyakan pendapat orang lain. Menanyakan pada warga Jakarta, baik mereka yang saya kenal baik, setengah baik, dan tidak baik, maupun sosok asing yang sedang melamun di halte, trotoar kejam Jakarta, lampu merah, warung remang-remang…ups…maaf ngelantur… Tidak hanya yang melamun, tapi juga sedang belanja di mal serius memilih handphone (atau fashion phone!), memilih makanan, hingga memilih pelanggan (petugas sales maksudnya).
Tujuannya? Untuk menjawab keingintahuan saya tentu saja, itu diatas segala-galanya. Tentang pendapat warga Jakarta, tendensi mereka terhadap fasilitas publik di kotanya, sampai gaya bicara khas anak jakarte, dan siapa tahu dapat kenalan (motif itu tidak bisa disembunyikan).
Bentuknya? Akan menjadi sebuah esai, yang tentu bisa dipertanggungjawabkan hasilnya karena saya turun langsung ke lapangan. Dan saya akan menggunakan gaya penulisan yang lebih pop cenderung nyeleneh, agar dalam menulis saya merasa nyaman dan dibacapun menjadi tidak membosankan. Tapi saya akan tetap fokus.
Supaya niat saya untuk mendalami tidak dicap setengah-setengah atau bohong belaka, maka saya berniat untuk meneruskan penelitian ini hingga ke Tugas Akhir. Dengan tema yang sama untuk kemudian nanti dilengkapi dengan perwujudan disain arsitektural.
Semoga berkenan.