Dalam Ruang Angan...*
Pagi yang indah
Aku selalu memutuskan untuk sampai ke tempat kerja dua jam sebelum toko ini dibuka untuk semua orang, untung diizinkan si pemilik yang sampai sekarang belum pernah kutatap wajahnya
Menu sarapan pagiku selalu sama tiga bulan terakhir: roti panggang, secangkir kopi hangat, dan berbagai jenis buku yang ingin aku baca
Aku nikmati semuanya dalam udara dingin Kota Bandung
Aku sangat bahagia dengan pekerjaanku kini, aku bahagia atas hidupku
Keseharianku berubah total setelah aku memutuskan hengkang dari pekerjaan lamaku
Pekerjaan lama yang telah menjerumuskanku dalam rutinitas, kebosanan, dan kebodohan
Meskipun kocekku jauh lebih tebal saat itu, namun kebagiaan rupanya tidak terbayarkan
Dulu aku seorang penulis
Bekerja tiap hari dengan pena yang kerap macet dan keyboard yang tidak bisa berhenti mengeluarkan suara setiap kali kupijit
Berpeluh demi mengejar aktualitas sebuah peristiwa dan bergelut dengan waktu yang tidak pernah kurasa cukup
Tidak pernah aku bisa dengan tenang membaca buku
Dan tidak sempat aku menjalin kawan dengan komunitas yang lekat dengan jatidiriku
Aku rindu kehangatan secangkir kopi yang mengeluarkan kepulan asap
Atau segarnya jus buah di tengah terik
Aku rindu bergumul dengan buku yang selalu ingin aku resapi kedalamannya
Atau menikmati pagelaran kesenian maupun film yang sebelumnya tidak pernah absen dari hidupku
Pekerjaan itu telah merenggut seluruh diriku
Tidak menyisakan ruang untukku menjadi aku
Kini, semua telah berlalu, dan aku amat bahagia
Bangun jam tujuh setiap pagi atau sesukaku saja lah...
Mandi sembari bernyanyi dan menikmati rindangnya pepohonan Kota Kembang dalam perjalanan ke tempat kerjaku yang baru
Sebentar, sepertinya ada yang mengetuk pintu
Anak punk itu datang lagi
Anak berbakat yang diusir orangtuanya karena dianggap tidak punya sopan santun
Berpakaian serampangan dan hobi menyerang dengan kata-kata
Aku berkawan akrab dengan dia
Bagi dia, aku sudah seperti kakak yang bisa diajak bicara dari hati ke hati
Anak muda berhati lembut dan tampak kuat dari luar, tapi relung hatinya rapuh
Ia kerap menemaniku sarapan pagi
Ia juga membantuku membuka toko jika tidak terlambat bangun pagi..hehe
Kami mendiskusikan masalah aktual dari sudut pandang kami selaku individu
Begitupun anak itu, bocah perempuan itu
Aku kembali berkutat pada lembaran buku yang tengah kubaca
Kali ini diselingi tawa riuh bersama si anak punk berambut hijau terang
Tidak terasa dua jam berlalu
Jam sepuluh tepat, toko buku mungil ini aku buka
Satu demi satu pengujung mulai datang
Beberapa wajah sudah sangat aku hafal namun selalu ada pendatang baru
Hampir semua anak muda
Senang rasanya ikut andil mencerdaskan anak belasan umur dengan cara ini
Membantu mereka memilihkan buku bacaan yang rasanya jauh bermanfaat daripada menonton sinetron sampah
Bahagia melihat mereka demikian antusias memperkaya pengetahuan dan idealisme
Sekarang, aku merasa lebih berguna...
*Judul terinspirasi buku karya Adi Purnomo, "Relativitas. Arsitek di Ruang Angan dan Kenyataan"
Nyatanya, aku masih di sini
Bandung, 10 November 2006
Pagi yang indah
Aku selalu memutuskan untuk sampai ke tempat kerja dua jam sebelum toko ini dibuka untuk semua orang, untung diizinkan si pemilik yang sampai sekarang belum pernah kutatap wajahnya
Menu sarapan pagiku selalu sama tiga bulan terakhir: roti panggang, secangkir kopi hangat, dan berbagai jenis buku yang ingin aku baca
Aku nikmati semuanya dalam udara dingin Kota Bandung
Aku sangat bahagia dengan pekerjaanku kini, aku bahagia atas hidupku
Keseharianku berubah total setelah aku memutuskan hengkang dari pekerjaan lamaku
Pekerjaan lama yang telah menjerumuskanku dalam rutinitas, kebosanan, dan kebodohan
Meskipun kocekku jauh lebih tebal saat itu, namun kebagiaan rupanya tidak terbayarkan
Dulu aku seorang penulis
Bekerja tiap hari dengan pena yang kerap macet dan keyboard yang tidak bisa berhenti mengeluarkan suara setiap kali kupijit
Berpeluh demi mengejar aktualitas sebuah peristiwa dan bergelut dengan waktu yang tidak pernah kurasa cukup
Tidak pernah aku bisa dengan tenang membaca buku
Dan tidak sempat aku menjalin kawan dengan komunitas yang lekat dengan jatidiriku
Aku rindu kehangatan secangkir kopi yang mengeluarkan kepulan asap
Atau segarnya jus buah di tengah terik
Aku rindu bergumul dengan buku yang selalu ingin aku resapi kedalamannya
Atau menikmati pagelaran kesenian maupun film yang sebelumnya tidak pernah absen dari hidupku
Pekerjaan itu telah merenggut seluruh diriku
Tidak menyisakan ruang untukku menjadi aku
Kini, semua telah berlalu, dan aku amat bahagia
Bangun jam tujuh setiap pagi atau sesukaku saja lah...
Mandi sembari bernyanyi dan menikmati rindangnya pepohonan Kota Kembang dalam perjalanan ke tempat kerjaku yang baru
Sebentar, sepertinya ada yang mengetuk pintu
Anak punk itu datang lagi
Anak berbakat yang diusir orangtuanya karena dianggap tidak punya sopan santun
Berpakaian serampangan dan hobi menyerang dengan kata-kata
Aku berkawan akrab dengan dia
Bagi dia, aku sudah seperti kakak yang bisa diajak bicara dari hati ke hati
Anak muda berhati lembut dan tampak kuat dari luar, tapi relung hatinya rapuh
Ia kerap menemaniku sarapan pagi
Ia juga membantuku membuka toko jika tidak terlambat bangun pagi..hehe
Kami mendiskusikan masalah aktual dari sudut pandang kami selaku individu
Tidak pernah kami berselisih paham, atau saling menyakitit perasaan
Di akhir pekan, kami habiskan dengan menonton film
Kadang dari genre favoritku tapi lebih sering ia yang menentukan pilihan karena selera sinemanya luar biasa
Aku merasa hidup dengan kehadirannyaBegitupun anak itu, bocah perempuan itu
Aku kembali berkutat pada lembaran buku yang tengah kubaca
Kali ini diselingi tawa riuh bersama si anak punk berambut hijau terang
Tidak terasa dua jam berlalu
Jam sepuluh tepat, toko buku mungil ini aku buka
Satu demi satu pengujung mulai datang
Beberapa wajah sudah sangat aku hafal namun selalu ada pendatang baru
Hampir semua anak muda
Senang rasanya ikut andil mencerdaskan anak belasan umur dengan cara ini
Membantu mereka memilihkan buku bacaan yang rasanya jauh bermanfaat daripada menonton sinetron sampah
Bahagia melihat mereka demikian antusias memperkaya pengetahuan dan idealisme
Sekarang, aku merasa lebih berguna...
*Judul terinspirasi buku karya Adi Purnomo, "Relativitas. Arsitek di Ruang Angan dan Kenyataan"
Nyatanya, aku masih di sini
Bandung, 10 November 2006
7 Comments:
oi, arsitek murtad kau. huahahahaha! mau jadi wartawan, mau jadi litbang ato mau jadi tukang gambar. tetep aja predikatnya buruh, babu, jongos. enggak berdaya sama majikan.
hai sesama murtad...
gw link ya blog elo???!!!!
yuk bikin toko buku aja, biar ruang angan gw menjadi kenyataan...
hihihihik sesama buruh dilarang saling mencaci :P
Abis mencaci majikan gak bakalan bisa
Jadilah kami mencaci sesama buruh...
sbentar2, kalo buruh saling mencaci, majikan tepok tangan skalian ngomporin. skali ada ledakan yg rugi yg orang2 di sol spatu paling bawah kek kita2 ini. mau mencaci majikan ato saling mencaci kok kayanya sama aja ruginya.
Emang tetap aja yg rugi kita sih. Tapi paling gak puas mulut ini mengucap sumpah-serapah, tuntas emosi ini meluap lewat hujat. Ada steak manusia gak ya? Gw lagi pingin makan orang nih...(daripada makan temen hehe)
sore mas, nama saya Bagus, salam kenal ya. saya ingin bertanya bukunya mas Adi Purnomo masih bisa di beli dimana ya?
Terima kasih
Post a Comment
<< Home