Friday, November 10, 2006

Dalam Ruang Angan...*

Pagi yang indah
Aku selalu memutuskan untuk sampai ke tempat kerja dua jam sebelum toko ini dibuka untuk semua orang, untung diizinkan si pemilik yang sampai sekarang belum pernah kutatap wajahnya
Menu sarapan pagiku selalu sama tiga bulan terakhir: roti panggang, secangkir kopi hangat, dan berbagai jenis buku yang ingin aku baca
Aku nikmati semuanya dalam udara dingin Kota Bandung
Aku sangat bahagia dengan pekerjaanku kini, aku bahagia atas hidupku

Keseharianku berubah total setelah aku memutuskan hengkang dari pekerjaan lamaku
Pekerjaan lama yang telah menjerumuskanku dalam rutinitas, kebosanan, dan kebodohan
Meskipun kocekku jauh lebih tebal saat itu, namun kebagiaan rupanya tidak terbayarkan

Dulu aku seorang penulis
Bekerja tiap hari dengan pena yang kerap macet dan keyboard yang tidak bisa berhenti mengeluarkan suara setiap kali kupijit
Berpeluh demi mengejar aktualitas sebuah peristiwa dan bergelut dengan waktu yang tidak pernah kurasa cukup
Tidak pernah aku bisa dengan tenang membaca buku
Dan tidak sempat aku menjalin kawan dengan komunitas yang lekat dengan jatidiriku

Aku rindu kehangatan secangkir kopi yang mengeluarkan kepulan asap
Atau segarnya jus buah di tengah terik
Aku rindu bergumul dengan buku yang selalu ingin aku resapi kedalamannya
Atau menikmati pagelaran kesenian maupun film yang sebelumnya tidak pernah absen dari hidupku

Pekerjaan itu telah merenggut seluruh diriku
Tidak menyisakan ruang untukku menjadi aku

Kini, semua telah berlalu, dan aku amat bahagia
Bangun jam tujuh setiap pagi atau sesukaku saja lah...
Mandi sembari bernyanyi dan menikmati rindangnya pepohonan Kota Kembang dalam perjalanan ke tempat kerjaku yang baru

Sebentar, sepertinya ada yang mengetuk pintu

Anak punk itu datang lagi
Anak berbakat yang diusir orangtuanya karena dianggap tidak punya sopan santun
Berpakaian serampangan dan hobi menyerang dengan kata-kata
Aku berkawan akrab dengan dia
Bagi dia, aku sudah seperti kakak yang bisa diajak bicara dari hati ke hati
Anak muda berhati lembut dan tampak kuat dari luar, tapi relung hatinya rapuh

Ia kerap menemaniku sarapan pagi
Ia juga membantuku membuka toko jika tidak terlambat bangun pagi..hehe
Kami mendiskusikan masalah aktual dari sudut pandang kami selaku individu
Tidak pernah kami berselisih paham, atau saling menyakitit perasaan
Di akhir pekan, kami habiskan dengan menonton film
Kadang dari genre favoritku tapi lebih sering ia yang menentukan pilihan karena selera sinemanya luar biasa
Aku merasa hidup dengan kehadirannya
Begitupun anak itu, bocah perempuan itu

Aku kembali berkutat pada lembaran buku yang tengah kubaca
Kali ini diselingi tawa riuh bersama si anak punk berambut hijau terang

Tidak terasa dua jam berlalu
Jam sepuluh tepat, toko buku mungil ini aku buka
Satu demi satu pengujung mulai datang
Beberapa wajah sudah sangat aku hafal namun selalu ada pendatang baru
Hampir semua anak muda
Senang rasanya ikut andil mencerdaskan anak belasan umur dengan cara ini
Membantu mereka memilihkan buku bacaan yang rasanya jauh bermanfaat daripada menonton sinetron sampah
Bahagia melihat mereka demikian antusias memperkaya pengetahuan dan idealisme

Sekarang, aku merasa lebih berguna...

*Judul terinspirasi buku karya Adi Purnomo, "Relativitas. Arsitek di Ruang Angan dan Kenyataan"
Nyatanya, aku masih di sini

Bandung, 10 November 2006

7 Comments:

Blogger Lawni Tenisa said...

oi, arsitek murtad kau. huahahahaha! mau jadi wartawan, mau jadi litbang ato mau jadi tukang gambar. tetep aja predikatnya buruh, babu, jongos. enggak berdaya sama majikan.

9:59 PM  
Blogger Nuki Adiati said...

hai sesama murtad...
gw link ya blog elo???!!!!
yuk bikin toko buku aja, biar ruang angan gw menjadi kenyataan...

10:01 PM  
Blogger Omah PatPit said...

hihihihik sesama buruh dilarang saling mencaci :P

10:23 PM  
Blogger Nuki Adiati said...

Abis mencaci majikan gak bakalan bisa
Jadilah kami mencaci sesama buruh...

10:26 PM  
Blogger Lawni Tenisa said...

sbentar2, kalo buruh saling mencaci, majikan tepok tangan skalian ngomporin. skali ada ledakan yg rugi yg orang2 di sol spatu paling bawah kek kita2 ini. mau mencaci majikan ato saling mencaci kok kayanya sama aja ruginya.

10:38 PM  
Blogger Nuki Adiati said...

Emang tetap aja yg rugi kita sih. Tapi paling gak puas mulut ini mengucap sumpah-serapah, tuntas emosi ini meluap lewat hujat. Ada steak manusia gak ya? Gw lagi pingin makan orang nih...(daripada makan temen hehe)

8:36 PM  
Blogger MR.bagus said...

sore mas, nama saya Bagus, salam kenal ya. saya ingin bertanya bukunya mas Adi Purnomo masih bisa di beli dimana ya?
Terima kasih

5:58 PM  

Post a Comment

<< Home