Thursday, September 14, 2006

Keren banget ini tulisan...

Kapan ya gw bisa nulis kaya' gini???

Mural, Kota, Jogja

Oleh: Marco Kusumawijaya

Mural di Jogja menyadarkan kita akan banyaknya sampah-sampah, percah-percah ruang dan benda di kota-kota kita --bukan hanya di Jogja-- yang tak pernah dipikirkan sebagai unsur adab sebuah kota. Inilah hakekatnya mural yang diciptakan para seniman di Jogja: karya-karya itu bukanlah disediakan tempatnya, melainkan mereka sendirilah yang menemukan tempatnya. Lebih jauh lagi: mereka mengajak publik kota menemukan percah-percah ruang dan benda sampah kota itu.

Itu dilakukannya dengan menarik perhatian dengan mengupayakan makna melalui warna, humor, ilusi perspektif, dan gambar-gambar yang tidak biasa berada pada dinding dan benda yang sebelumnya hanya abu-abu, hambar, sisa-sisa atau akibat kecelakaan pembangunan yang tak beradab dan tanpa makna sama sekali.

Makna adalah suatu lompatan nilai: dari sesuatu yang tak berarti kecuali untuk mendukung eksistensi “yang lain”, menjadi sesuatu yang memiliki kehadirannya sendiri. Maka mural-mural ini sebenarnya adalah karya kolase yang melibatkan benda-benda dan ruang temuan (objet trouvé) raksasa berupa sampah-sampah kota itu, karena yang terakhir ini bukan hanya berfungsi menjadi “kanvas” yang menghilang dibalik cat, melainkan justru bersama-sama dengan cat ia membangun kehadiran baru dengan makna baru, melebihi eksistensi terdahulunya yang hanya berkisar dari “tak berarti apa-apa” sampai “sekedar fungsional” terhadap eksistensi lain (sebuah jalan layang yang didukungnya; sebuah rumah yang terpotong; sebuah bagian kota yang tak berarsitektur).

Mural renaissance selalu menghias arsitektur, disediakan tempatnya oleh Michelangelo Buonarroti dan lain-lain. Pada candi-candi Indonesia, “hiasan dinding” seperti ini terdapat secara kolosal dalam bentuk relief tinggi yang membungkus seluruh objek. Renaissance memberinya tempat di dalam ruangan. Candi-candi Indonesia memberinya tempat disekujur tubuh obyek . Mereka tidak menemukan arsitektur. Arsitektur yang mengundang mereka, atau setidaknya bekerjasama dengan mereka.

Sedang mural di Jogja menemukan sampah-sampah arsitektur kota, dan melibatkannya ke dalam suatu penciptaan kolase, suatu kerangka makna baru. Dapat dikatakan mereka sekaligus mempermalukan arsitektur dan mengangkatnya dari nestapa yang dalam. Yang pertama dikarenakan mereka membuat khalayak menyadari betapa arsitektur telah menghasilkan begitu banyak sampah di kotanya. Yang kedua karena melibatkan arsitektur itu --tanpa menghilangkannya-- ke dalam suatu kehadiran baru yang lebih bermakna. Arsitektur tidak menemukan mereka, apalagi mengundangnya. Merekalah yang merangkul arsitektur, yang sebelumnya bahkan tak disadari sebagai arsitektur oleh para penata kota dan public kota. Mural-mural ini membuat eksistensi arsitektur kota berada di antara batas ada dan tiada. Persis di hadapannya, ilusi yang diciptakannya seolah meniadakan dinding-dinding itu, sedangkan dari jarak yang cukup eksistensi tembok-tembok itu menjadi makin nyata, terutama aura negatifnya. Dari renaissance ke bakal metropolis Jogja: arsitektur berubah dari “ibu segala seni” menjadi anak jalanan yang dipungut kembali oleh seni. Meskipun tak diundang, seni rupa menawarkan sesuatu kepada tempat-tempat yang tak dihargai arsitektur kota. Para seniman mengembangkan sensitivitas tentang ruang kota, melakukan intervensi yang telah gagal dilakukan oleh para arsitek.

Akan mengherankan bila arsitektur dan para arsitek tidak belajar apa-apa dari peristiwa muralisasi Jogja ini. Akan mengherankan bila kota Jogja tidak belajar apa-apa.

***

Kota-kota, termasuk Jogja, menghadapi bahaya. Pengamatan perupa Tisna Sanjaya di Harian Media Indonesia (Ruang Publik, Ruang Tubuh) beberapa waktu yang lalu tentang kota Bandung berlaku bukan hanya untuk Bandung:

”Ruang-ruang terbuka di Bandung berkarakter machoistic, hanya diperuntukkan bagi monumen heroik tubuh-tubuh lelaki. Lihatlah, di tiap sudut 'Kota Priangan' diisi oleh monumen-monumen tubuh tentara dan kekerasan ideologis, tubuh pemain sepak bola, obor api, bambu runcing, dan puncaknya di depan pusat pemerintahan, Gedung Sate, berdiri dengan angkuhnya monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat yang berukuran raksasa, di puncak monumen simbol burung Garuda Pancasila seperti mau menerkam manusia-manusia yang kecil di bawahnya.

Bukankah mural di Jogja membayangi baris-baris tulisan Tisna Sanjaya di atas? Advokasi kebudayaan para seniman mural Jogja terjadi pada ruang-ruang yang paling tak beradab di kota Jogja. Pemilihan tempat ini teranglah bukan suatu ironi keputusasaan (seolah-olah tak tersedia tempat lain bagi para seniman berekspresi), melainkan suatu advokasi dengan keyakinan diri yang besar: para seniman itu memilih apa yang nampaknya paling tak layak, paling tak mungkin. Bagi mereka, itulah tantangannya. Mereka ingin mengubah apa yang nampaknya paling tak mungkin dan paling tak layak menjadi bagian keseharian ruang publik yang beradab. Di kesimpulan tulisannya, Tisna Sanjaya menulis: “Kita harus menciptakan ruang-ruang kebudayaan yang menempel di tubuh kita, bagian dari keseharian napas kita”.

Jogja adalah sebuah kota yang paradoksal. Ia satu-satunya bagian Indonesia yang formal feodal dengan raja yang efektif, meskipun dengan sebutan modern “gubernur”. Tetapi ia adalah sebuah kota yang paling bahagia dan kreativ dengan sebuah universitas yang merupakan Indonesia mini. Setidaknya sebelum ia, kita semua, memasuki jaman dengan ancaman baru bernama terorisme. Sebelumnya kita pikir kapitalisme yang kita harus awasi.

Diskusi-diskusi tentang seni dan kebudayaan di Jogja tahun-tahun terakhir ini telah menciptakan ruang pertukaran pikiran antara para seniman dengan berbagai latar belakang dan aliran. Kondisi urbanitas Jogja bukan tidak menyumbang pada menyeruaknya wacana dan pergaulan itu. Di Jogja ada kepadatan yang tidak menyesakkan, kedekatan yang tidak menghimpit, kemudahan yang tidak memanjakan, keleluasaan dan kesantaian yang tidak mengabaikan krama, serta perhitungan akal yang makin memuliakan rasa. Produktivitas tidak mematikan kreativitas, yang memang mendahuluinya. Ruang-ruang yang mati, benda-benda yang tak bermakna, yang dengan muralisasi ini diketemukan serta dikemukakan ke hamparan khalayak oleh para seniman, adalah persis ancaman atas karakteristik urbanitas Jogja itu. Mengapa jalan layang yang dibangun, bila sebenarnya jiwa kolektif Jogja seharusnya bisa menghasilkan yang lebih kreativ seperti angkutan umum yang baik, seandainya ada pemimpin yang tahu mengajak? Mengapa ada ruang dan tembok tak bertuan dan terbengkalai, bila ada rasa memiliki keseluruhan kota ini yang begitu besar di antara semua warganya? Mengapa harus bergerak cepat tak menikmati, seperti tak melihat, bagian-bagian kota yang dilewati -- yang memiliki iramanya sendiri, yaitu irama Jogja yang sama sekali tak berkesalahan itu?

Hubungan antara bentuk kota dan isinya memang tak deterministik; tetapi kota yang nyaman dimukimi jelas akan menghasilkan warga yang lebih bahagia, yang semestinya berarti pula vitalitas yang tinggi.

Awal November 2002

0 Comments:

Post a Comment

<< Home